Selasa, 22 Juni 2010

maaf... dan aku harus jujur


saya akan jujur pada anda semuanya... dan mohon di maafkan....bila ada yang sama dalam blog ini saya minta maaf terlebih dulu...
dan apa bila saya terlalu berlebihan mengambil catatan.... mohon di maafkan
saudaraku?... apa saya di terima pada anda semua...
saudaraku?... apa saya bisa menjadi seorang guru,seperti mengajar pada muridnya tentang nasionalisme juga arti kehidupan sesungguhnya....
sAudaraku? maafkanlah,apa saya bisa di terima
Segala gugusan catatan yang aku paparkan diweb ini adalah benar yang mana telah aku rasain sendiri. dan juga yang telah aku pelajari dari bolg,website,kamus kepunyaanku juga milik org lain ,dari pada kehidupan diri sendiri dan orang lain sekitarnya. Kadang-kadang dalam catatan yang dipaparkan, aku sengaja “lebihkan” atau “kurangkan” atas sebab tertentu, tetapi pada hakikatnya pengajaran tetap aku kekalkan.sebelum malaikat maut yang sangat manis mengambil ruh-ku,,,

Senin, 21 Juni 2010

Andai kata kau mau jadi Sahabatku..

Ketika sahabat datang..
maka tersenyumlah..
Ketika sahabat pulang..
maka melambailah..

Ketika sahabat menatap..
maka tataplah dengan kehangatan tatapan tanpa atap..

Lalu haruskah aku menolak jabatan tangan yang halusmu..
Atau justru lembut tanganmu itu tak dapat aku raih sempurna..
tersembunyi dibalik rona merah wajahmu..

Aku hanyalah orang biasa..
dan bahkan terlalu biasa..
Aku adalah sesosok rapuh yang butuh nasihat sahabat..
Aku adalah musafir yang kedahagaan..

Andai saja kau mau jadi sahabatku..

Cara Mudah Untuk Berhenti Merokok

Semua dokter di dunia telah sepakat bahwa merokok sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Tidak hanya bagi perokok itu sendiri, tetapi yang lebih banyak menerima efek buruk dari asap rokok itu adalah orang yang berada di sekitar para perokok tersebut, terutama istri dan anak-anak mereka.

Menyadari hal dia atas para perokok atau biasa di sebut sebagai orang yang terkena sydrome merokos terius menerius berkeinginan untuk mencoba menghentikan kebiasaan buruknya itu. Namun akibat dari sudah terlanjur merasakan nikmatnya asap rokok, sehingga keinginan itu hanyalah sebatas di angan angan saja.
Nah kali ini, saya coba untuk membagikan tip atau cara mudah untuk berhenti merokok. Semoga bisa membantu anda untuk bisa terlepas dari kecanduan asap rokok.

rokok1
1. Niat yang bulat
Cobalah bulatkan niat anda dari sekarang untuk berhenti menghisap asap rokok.

2. Tanamkan pemahaman pada diri anda bahwa merokok itu sangat merugikan
a. Kesehatan
Racun tembakau berupa tar dan nikotin yang terkandung didalam sebatang rokok, lambat laun akan menggerogoti fungsi jantung anda. Sehingga anda akan jauh lebih cepat meninggal dunia akibat terkena serangan jantung atau penyakit kanker. Dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.

b. Finansial
Coba anda hitung berapa uang yang suda anda habiskan dalam setahun untuk membeli sebatang rokok. Disaat orang lain membiasakan diri untuk membeli suplemen atau vitamin atau produk kesehatan lain untuk menunjang pola hidup sehat. Justru anda malah membuang-buang penghasilan anda untuk sesuatu yang akan membahayakan hidup anda. Dan mungkin saja minggu depan anda akan masuk ke rumah sakit dengan biaya yang lumayan tinggi akibat dari perbuatan anda sendiri.

c. Sosial
Jelas anda akan dijauhi oleh orang terdekat anda. Siapa sih yang suka dengan asap rokok. Siapa sih yang suka dengan bau busuk tembakau yang keluar dari mulut anda. Tidak hanya itu, sekarang ini banyak instansi, perkantoran swasta bahkan ruang publik lainnya yang mewajibkan pengunjungnya untuk tidak merokok . Apa anda tidak merasa terisolir.

3. Merubah kebiasaan
a. Biasanya kebiasan merokok itu dilakukan setelah selesai makan. Lidah dan bibir akan terasa asam dan gatal bila tidak merokok. Nah coba saja mulai sekarang ganti kebiasaan merokok itu dengan menghisap permen atau memakan buah buahan segar yang justru akan membantu proses pencernaan makanan yang baru saja masuk ke dalam tubuh anda daripada menghisap racun tembakau yang justru akan membuat darah anda terkontaminasi racun jahat yang berasal dari sebatang rokok.

b. Kebiasaan yang kedua adalah disaat anda sedang sendirian, tentunya keinginan untuk merokok itu sangat kuat.
Mulai sekarang usahakan jangan terlalu asyik sendiri. Sibukkan diri anda dengan membuka komputer anda. Lakukan tugas anda atau mulailah berinteraksi dengan teman maya anda di situs2 yang anda ikuti. Atau kalau tidak tatap layar TV anda, untuk sekedar menambah informasi terbaru anda tentang situasi sekarang. Kemudian ambilah beberapa kentang goreng atau makanan kecil lainnya untuk menemani anda. Sehingga keingginan untuk menghisap asap tembakau jahat itu akan terlupakan.

c. Saat ditawari oleh teman perokok anda, kadang anda sulit untuk menolaknya padahal anda sudah mulai berhenti merokok. Coba anda katakan saja bahwa anda sudah berhenti merokok. Saya yakin ia akan menghargai anda dan mematikan rokok yang sedang dihisapnya. Bila memang masih merokok, coba anda minta baik-baik kepada teman anda itu untuk menghentikan sementara di depan anda, karena anda merasa terganggu dengan asap yang keluar dari mulutnya. Bila memang masih belum bisa menghentikannya anda jauhi saja. Buat apa berteman dengan orang yang sengaja menyebarkan racun yang mematikan itu.

d. Disamping hal diatas biasanya keinginan untuk merokok itu begitu kuat saat anda terserang insomnia yang membuat anda tidur larut malam, maka biasanya orang akan membakar sebatang rokok di mulutnya untuk menghilangkan suasana dingin di malam hari.
Buat anda yang sering tidur larut malam mulailah belajar untuk disiplin waktu, buatlah semacam jadwal kegiatan dan tugas anda di rumah jangan sampai melebihi jam 10 malam. Sehingga ketika jam menunjukan pukul 10 malam semua kegiatan yang anda lakukan total berhenti dan saatnya anda masuk ke tempat peraduan anda.

e. Lakukanlah olah raga ringan seperti lari-lari kecil di sekitar rumah anda saat pagi hari. Ini dapat merubah kebiasaan buruk anda itu, di samping itu juga, berolah raga saat pagi hari sangat bermanfaat bagi kesehatan dan dapat membantu menyeimbangkan metabolisme tubuh anda.

4. Lakukan secara bertahap
Tentunya tidak semua kebiasaan itu bisa anda hentikan seketika. Lakukan secara bertahap dimulai dari sekarang. Satu contoh bila hari ini anda menghabiskan rokok sebayak satu bungkus atau 12 batang. Besok anda kurangi cukup sebanyak 11 batang saja. Kemudian lusa kurangi lagi menjadi cukup sebanyak 10 batang saja. Begitu seterusnya sampai anda benar-benar tidak menyentuh batang berbahaya itu.

Itulah tip sederhana dari saya. Semoga bermanfaat dan mulai sekarang tinggalkanlah kebiasaan buruk anda mulai hari ini dan untuk selama lamanya. Buat sahabat terbaik saya bila ada tip lainnya silahkan di tambahkan untuk saya di bawah.
Terimakasih sebelumnya

Salam sejahte bagi anda melihat blog saya.

Syair Kehidupan bagi kita semua...

dunia ini sudah tua..
jangan sampai kita ikut celaka..
mari kita tingkatkan taqwa..
kepada Tuhan yang Maha Esa..

Allah tempat kita bergantung..
agar kita selalu beruntung..
jangan sampai kita terpasung..
jangan bimbang dan jangan pula bingung..

hanya Allah yang selalu di hati..
tempat kita untuk berbakti..
bermunazat dan bersaksi..
sampai akhir kiamat nanti..

mari kita perbanyak dzikir..
kepada Allah yang Maha Basir..
agar kita selalu berpikir..
dijauhkan dari sifat kikir..

semua manusia kan pasti mati..
baik petani ataupun menteri..
mari kita bercermin diri..
agar kita tak sampai merugi..

hidup ini hanya sementara..
semua makhluk kan pasti binasa..
jangan sampai kita tergoda..
oleh tipu daya dunia..

dunia ini sudah akhir..
jangan sampai kita tergelincir..
mari kita terus berdzikir..
bersama syekh Abdul Qodir (Syekh Abdul Qodir al-Jaelani)...
untuk kehidipan selanjutnya bro....

Neraka itu ada bro..... setiap Agama yang ada di bumi ini mengatakan Neraka itu ada...

Neraka merupakan suatu tempat yang diyakini oleh penganut beberapa agama dan atau aliran kepercayaan sebagai tempat kesengsaraan abadi setelah mati. Tempat ini berada di alam gaib sebagai balasan atas perbuatan manusia yang dinilai menyimpang dari aturan agama.

*

[sunting] Personifikasi dalam Hindu

Istilah neraka berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Naraka yang dalam mitologi Hindu dilukiskan sebagai seorang raksasa kejam. Ia merupakan putra dari bumi, yang dilukiskan sebagai wanita cantik bernama Pertiwi. Naraka akhirnya tewas di tangan ayahnya sendiri, yaitu Wisnu yang dipuja umat Hindu sebagai dewa pemelihara dunia.
[sunting] Dalam Kristen

Kata “neraka” juga terdapat dalam banyak terjemahan Alkitab. Ayat-ayat yang sama dalam terjemahan-terjemahan lain menyebutkan “kubur”, “dunia orang mati”, dan sebagainya. Alkitab-Alkitab lain hanya mentransliterasikan kata-kata bahasa asli yang kadang-kadang diterjemahkan “neraka”; Dalam bahasa Ibrani, neraka diistilahkan sebagai "She’ohl" (syeol) dan dalam bahasa Yunani “Hai’des” (hades) sebagai kuburan umum dari umat manusia yang mati; Dalam bahasa Yunani "He’en-na" (gehenna) dan digunakan sebagai lambang dari kebinasaan kekal.

Dalam agama Kristen, Neraka terbagi dalam 3 tingkat, yaitu:

* Hades

Adalah tempat atau bagian dari neraka yang paling atas atau sama dengan tempat penantian. namun di dalam tempat penantian itupun banyak jiwa yang tidak luput dari pandangan para utusan neraka.

* Neraka

Adalah tempat atau bagian tengah dari neraka. Siksaan di bagian ini lebih kejam daripada di hades.

* Jurang tak berdasar.

Adalah bagian neraka yang paling dalam. Di tempat ini terdapat lautan api dan belerang dimana para jiwa yang berdosa direndam dalam lautan itu. Di tempat itu pula Allah memenjarakan Sang Naga atau Iblis yang akan dilepaskan pada masa tujuh tahun penderitaan.
[sunting] Dalam Islam

Neraka adalah tempat penyiksaan bagi mahluk Allah yang membangkang. Mereka adalah orang-orang yang membangkang terhadap syariat Allah dan mengingkari Rasulullah saw.

Kata neraka sering disebutkan dalam kitab suci Al-Qur'an dan jumlahnya sangat banyak sekali. Dalam bahasa Arab disebut naarالنار (ar)* (an-nār).

Siapapun orang yang dimasukkan ke dalam neraka, dia tidak akan keluar darinya. Pintu neraka berdiri kokoh dan tertutup rapat. Itulah penjara bagi orang-orang yang menganggap remeh berita tentang pengadilan akhirat.

Ada juga orang-orang yang terakhir kali masuk surga, setelah mereka di siksa sesuai dengan dosa-dosanya yang telah mereka perbuat.

Didalam Al-Qur'an disebutkan bahan bakar neraka adalah dari manusia dan batu (ada yang mengartikan berhala). Pintu gerbang Neraka di pimpin oleh Malaikat Malik, yang memiliki 19 malaikat penyiksa didalam Neraka, salah satunya yang disebut namanya dalam Al-Qur'an adalah Zabaniah.

Walaupun neraka sering digambarkan sebagai tempat penyiksaan yang teramat panas, tetapi ada hawa neraka menjadi teramat sangat dingin. Disebutkan di dalam Al-Qur'an:
“ Inilah (azab neraka), biarlah mereka merasakannya, (minuman mereka) air yang sangat panas dan air yang sangat dingin. (Sad [38]:57) ”

Siksaan di dalam neraka yang paling ringan diberikan sandal api yang bisa membuat otak mereka mendidih. “Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksaannya ialah orang yang diberi sepasang sandal yang talinya terbuat dari api neraka, lalu mendidihlah otaknya karena panasnya yang laksana air panas mendidih di dalam periuk. Dia mengira tiada seorangpun yang menerima siksaan lebih dahsyat dari itu, padahal dialah orang yang mendapat siksaan paling ringan.” (HR. Bukhari-Muslim)
......"Nama-nama pintu neraka:.......

Neraka tempat penyiksaan itu kemudian banyak disebut orang dengan nama Jahannam. Jahannam itu memiliki 7 pintu, setiap pintu (tingkat), telah ditetapkan untuk golongan tertentu dari para makhluk-Nya. Pintu (tingkat) neraka yang disebutkan didalam Al Qur'an adalah:

* Hawiyah
Neraka yang diperuntukkan atas orang-orang yang ringan timbangan amalnya, yaitu mereka yang selama hidup didunia mengerjakan kebaikan bercampur dengan keburukan. Orang muslim laki dan perempuan yang tidak tanduknya tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, seperti para wanita muslim yang tidak menggunakan jilbab, bagi para lelaki muslim yang sering memakai sutra dan emas, mencari rejeki dengan cara tidak halal, memakan riba dan sebagainya, Hawiyah adalah sebagai tempat tinggalnya. Surah Al-Qari'ah.
* Jahiim
Neraka sebagai tempat penyiksaan orang-orang musyrik atau orang yang menyekutukan Allah. Mereka akan disiksa oleh para sesembahan mereka. Dalam ajaran Islam syirik adalah sebagai salah satu dosa paling besar menurut Allah, karena syirik berarti menganggap bahwa ada makhluk yang lebih hebat dan berkuasa sehebat Allah dan bisa pula menganggap bahwa ada Tuhan selain Allah. Surah Asy-Syu'ara' dan Surah As-Saffat.
* Saqar
Neraka untuk orang munafik, yaitu orang yang mendustakan perintah Allah dan rasul. Mereka mengetahui bahwa Allah sudah menentukan hukum Islam melalui lisan Muhammad, tetapi mereka meremehkan syariat Islam. Surah Al-Muddassir.
* Lazhaa
Neraka yang disediakan untuk orang yang suka mengumpulkan harta, serakah dan menghina orang miskin. Bagi mereka yang tidak mau bersedekah, membayar zakat, atau bahkan memasang muka masam apabila ada orang miskin datang meminta bantuan. Surah Al-Ma’arij.
* Huthamah
Neraka yang disediakan untuk orang yang gemar mengumpulkan harta berupa emas, perak atau platina, mereka yang serakah tidak mau mengeluarkan zakat harta dan menghina orang miskin. Di neraka ini harta yang mereka kumpulkan akan dibawa dan dibakar untuk diminumkan sebagai siksaan kepada manusia pengumpul harta. Surah Al-Humazah.
* Sa'iir
Neraka yang diisi oleh orang-orang kafir dan orang yang memakan harta anak yatim. Surah Al-Ahzab, Surah An-Nisa', Surah Al-Fath dan Surah Luqman.
* Wail
Neraka yang disediakan untuk para pengusaha atau pedagang yang licik, dengan cara mengurangi berat timbangan, mencalokan barang dagangan untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat. Barang dagangan mereka akan dibakar dan dimasukkan kedalam perut mereka sebagai azab dosa-dosa mereka. Surah Al-Tatfif dan Surah At-Tur.

Neraka dipegang (ditahan) oleh tujuh puluh ribu tali, dan setiap talinya di pegang oleh tujuh puluh ribu malaikat.
Penghuni neraka terbanyak

Disebutkan didalam salah satu hadist, bahwa penghuni neraka yang terbanyak adalah dari kalangan perempuan.[1]
“ ...orang-orang ahli neraka telah diperintahkan masuk neraka maka ketika saya berdiri di dekat pintu neraka tiba-tiba kudapatkan kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang perempuan.[2] ”
Jenis hukuman dan siksaan di neraka

Di akhirat para penghuni neraka akan menjalani hukuman berupa siksa yang sangat pedih. Siksaan yang mereka derita dalam neraka itu bermacam-macam sekali, sebagaimana yang difirmankan Allah seperti berikut:

* "Dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka." (At-Taubah [9]:35)
* "Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, supaya mereka diseret, kedalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api."(Al-Mu’min [40]:71-72)
* "Peganglah dia kemudian seretlah dia ketengah-tengah neraka. Kemudian tuangkanlah di atas kepalanya seksaan (dari) air yang amat panas. Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia." (Ad-Dukhan [44]:47-49)
* "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya kelehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta." (Al-Haqqah [69]:30-32)
* "Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian dari api neraka, disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala-kepala mereka. Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada di dalam perut mereka dan juga kulit-kulit mereka. Dan cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, maka mereka dikembalikan kedalamnya, (serta dikatakan kepada mereka): "Rasailah azab yang membakar ini." (Al-Hajj [22]:19-22)

by.Temmy Mokodompit....

Yaqut al-Hamawi, Ahli Geografi Muslim

Yaqut berujar, jika ilmuwan tak memikirkan sebuah karya dan manfaat bagi orang lain, ini menjadi awal bagi manipulasi ilmu pengetahuan.

Misteri sebuah tempat, memikat hati Yaqut ibn-‘Abdullah al-Rumi al-Hamawi. Ilmuwan yang lahir di Asia Kecil ini, kemudian menelusuri dan menyingkap beragam tempat yang ia kun jungi dan dikisahkan oleh orang-orang yang ia jumpai setelah melakukan sebuah perjalanan.

Ketertarikan Yaqut, demikian ia sering dipanggil, membuahkan sejumlah karya dalam bidang yang kemudian akrab disebut geografi. Paling tidak ada dua karya yang melambungkan namanya, yaitu Mu’jam al-Udaba atau Kamus Orang-orang Terpelajar.

Sedangkan buku lainnya yang secara khusus membicarakan tentang bidang yang ia kuasai, geografi, berjudul Mu’ajam al-Buldan atau Kamus Negara-negara. Dua karya tersebut memiliki ketebalan hingga 33.180 halaman.

Mu’jam al-Buldan, merupakan sebuah ensiklopedia geografi yang lengkap, yang memuat hampir seluruh wilayah yang ada di abad pertengahan dan kejayaan Islam. Dalam menjelaskan sebuah tempat, Yaqut memasukkan hampir seluruh aspek yang terkait tempat tersebut.

Yaqut menguraikan mengenai aspek arkeologi, etnografi, antropologi, ilmu alam, geografi, dan koordinat dari setiap tempat yang ia jelaskan dalam ensiklopedianya itu. Bahkan, ia juga memberikan nama untuk setiap kota, menginformasikan monumen dan bangunan megah di kota itu.

Tak lupa pula, Yaqut mengisahkan tentang sejarah sebuah tempat, populasi, hingga figur atau sosok ternama dari tempat atau kota yang ia jelaskan. Untuk mendapatkan informasi perinci yang ia gunakan dalam ensiklopedianya itu, ia melangkahkan kakinya ke sejumlah wilayah.

Yaqut bepergian ke Persia, Arabia, Irak, dan Mesir. Ia sendiri saat itu menetap di Allepo, Suriah. Ia membangun relasi dan pertemanan dengan para ahli geografi dan sejarawan. Ia mengorek kumpulan fakta dari mereka dan juga para pelancong.

Namun, hal yang paling penting dan ini menjadi ruh dalam ensiklopedianya itu, ia menuliskan fakta-fakta yang dikumpulkan dari perjalananperjalanan yang ia lakukan sendiri dan dari orang yang ia temui saat ia melakukan sebuah perjalanan.

Selain itu, Yaqut juga sepenuhnya memahami dengan beragam konsep para ahli geografi Muslim sebelumnya bahwa mereka tak hanya menguasai geografi, tetapi juga mengaitkannya dengan sejumlah bidang ilmu lainnya. Seperti, matematika dan fisika.

Semua itu, Yaqut tuangkan pula dalam karyanya. Bahkan, dalam bab pendahuluan di dalam ensiklopedianya itu, ia terlebih dahulu membahas mengenai istilah yang ia gunakan dalam karyanya itu dan istilah-istilah geografi yang tersebar di dalamnya.

Untuk melengkapi dan memperkaya data, Yaqut memanfaatkan hasil kerja dari ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Namun, ia bersikap kritis terhadap data-data yang ia gunakan. Ia melakukan koreksi atas data yang ingin ia gunakan jika memang diperlukan.

Bahkan, Yaqut dikenal sebagai ilmuwan yang sangat ketat dengan data dan fakta yang ingin ia gunakan dalam karyanya. Hasil kerjanya, merupakan akhir dari sebuah proses ketat yang ia lakukan. Semua data dan fakta ia teliti. Fakta yang dinilai tak valid, ia buang.

Yaqut sangat berpegang pada akurasi dan ketelitian informasi. Tak heran jika dalam laman Muslimheritage, disebutkan bahwa Mu’jam al-Buldan hingga sekarang dianggap sebagai sumber referensi yang sangat bagus.

Dalam karyanya itu, Yaqut juga melihat adanya hubungan erat antara geografi dan sejarah. Ia menekankan pula peran ortografi atau sistem penulisan dari tempat-tempat yang ia gambarkan dalam karya ensiklopedianya itu.

Selain itu, pengaturan alfabet dalam karyanya, merupakan upaya untuk memberikan ejaan yang tepat mengenai nama-nama tempat, posisi geografisnya, batas, pegunungan, padang pasir, laut, dan pulau-pulau yang ada di suatu tempat.

Yaqut juga menyematkan nama pada setiap tempat, nama aslinya, termasuk anekdot, dan fakta-fakta penting lainnya yang terkait tempat yang ia jelaskan itu. Ia memberikan catatan pula, para penulis terdahulu tak memiliki perhatian memadai soal ketepatan ejaan sebuah tempat.

Tak hanya itu, Yaqut juga menilai mereka menyebutkan lokasi yang tepat mengenai sejumlah tempat. Ini membuat banyak ilmuwan salah mendapatkan informasi dari catatan-catatan yang dihasilkan oleh sejumlah ilmuwan terdahulu.

Yaqut juga menegaskan, karya ensiklopedianya itu tak hanya bermanfaat bagi Muslim dalam bepergian. Apa yang ia tulis juga terinsipirasi ajaran Alquran. Ia yakin bahwa karyanya bukan hanya berguna bagi para pelancong, tapi juga bagi para hakim, teolog, sejarawan, dan dokter.

Dalam karya lainnya, yang dalam bahasa Inggris berjudul Dictionary of Men of Letters, Yaqut menuliskan pandangannya. Ia membedakan antara orang terpelajar dengan ilmuwan. Ia mengatakan, orang terpelajar memilih dari segala bahan kemudian menyusunnya.

Sedangkan ilmuwan, ungkap Yaqut, adalah seseorang yang memilih cabang ilmu pengetahuan tertentu kemudian mengembangkannya. Ia juga menekankan pada kegunaan atau manfaat. Dalam konteks ini, ia mengutip seorang ilmuwan bernama Ali Ibnu al-Hasan.

Jika ilmuwan tak berpikir tentang kegunaan dan hasil kerja, ujar Yaqut, itu akan menjadi awal bagi terwujudnya manipulasi terhadap ilmu pengetahuan. Dengan persepsinya itu, ia kemudian menuntaskan Mu'jam al-Udaba.

Di sisi lain, Yaqut juga berpandangan bahwa ilmu di atas kekuasaan. Ia menuliskan pandangannya itu dalam Mu'jam al-Udaba, melalui sebuah kisah Khalifah Al-Mutamid. Suatu pagi, khalifah berjalan di taman dan mengangkat Thabit Ibnu Qurra dengan tangganya.

Lalu, Khalifah Al-Mutamid, menjatuhkan Thabit secara perlahan. Dan ini membuat Thabit bertanya. Ada apa tuan? tanya Thabit. Khalifah pun kemudian menjawab, tanganku ada di atasmu, namun ilmu pengetahuan lebih tinggi lagi, katanya.

Dalam karyanya tersebut, Yaqut ingin menjelaskan bahwa dalam persepsi Muslim, tingkatan ilmu pengetahuan lebih tinggi dibandingkan kekuatan politik.

Kisah Yaqut
Yaqut lahir dari keluarga berdarah Yunani. Meski ia lahir di wilayah Asia Kecil, ia lebih dikenal sebagai ilmuwan yang berasal dari Suriah. Sebab, ia lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di wilayah tersebut. Ia hidup antara 1179 hingga 1229 M.

Yaqut pernah menja lani kehidupan sebagai seorang budak. Saat itu, berkecamuk perebutan kekuasaan antara Kerajaan Seljuk dan Byzantium. Banyak orang yang kemudian ditangkap dan dijual kepada orang kaya sebagai budak.

Saat itu, Yaqut jatuh ke tangan seorang pedagang buku dari Baghdad. Namun, pedagang tersebut akhirnya membebaskan Yaqut dan memberinya pendidikan yang memadai. Namun, ia juga masih terus ikut bersama pedagang tersebut, ia menjadi sekretaris mantan tuannya.

Bahkan, Yaqut juga ikut berkeliling ke sejumlah wilayah bersama pedagang buku tersebut. Ia pun kemudian menjadi penulis. Bahkan, ia menguasai bahasa Arab. Ia tertarik pula dengan geografi. Pengalamannya dalam mengunjungi sejumlah tempat membuatnya tertarik menuliskannya.

Yaqut akhirnya sampai ke Kota Merv, Turkmenistan, sebuah kota yang dikenal sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dan ilmuwan. Ia sangat menyukai kota tersebut dan tinggal di sana selama dua tahun. Ia senang mengunjungi perpustakaan yang ada di masjid dan madrasah.

Menurut Yaqut, di satu perpustakaan yang ada di masjid agung di Merv, terdapat 12 ribu judul buku. Ia betah berkutat di perpustakaan itu. Ia bahkan diizinkan petugas perpustakaan membawa 200 buku dalam satu waktu ke dalam sebuah ruangan di perpustakaan itu.

Pada 1218, Yaqut pindah ke Khiva dan Balkh. Namun, ini merupakan saat yang salah baginya untuk pindah. Sebab, pada awal 1220-an, tentara Mongol bergerak ke wilayah barat. Seluruh wilayah timur Islam dihancurkan.

Hanya dalam kurun waktu satu tahun, Mongol berhasil menguasai bagian-bagian wilayah Islam yang subur dan makmur. Kemudian, mereka menghancurkan semua yang berharga. Anak lelaki Jengiz Khan, Jagtai, menguasai dan menghancurkan Otrar.

Sedangkan, tentara Jengiz Khan menyerang Bukhara, Samarkand, dan Balkh. Mereka juga bergerak menuju Khurasan. Merv dan Nishapur akhirnya takluk juga. Dalam penyerangan itu, Yaqut hampir tertangkap. Namun, akhirnya, ia berhasil lolos dengan pakaian yang melekat di tubuhnya.

Beruntung, Yaqut juga berhasil membawa manuskrip-manuskrip yang dimilikinya. Ia bergerak menyeberangi Persia ke Mosul. Dari Mosul, ia ke Aleppo, Suriah, di mana ia tinggal di sana. Selama tinggal di sana, ia sempat melancong ke beberapa tempat, seperti Irak.

by>: Temmy Mokodompit... berpengatahuan luas tanpa ada yang bisa membentengi untuk mencari tahu makna kehidupan ini...

Minggu, 20 Juni 2010

Bangsa Indonesia Harus Di Kasihanlah

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum yang tidak dituainya
dan meminum anggur yang tidak diperasnya

Kasihan bangsa yang menjadikan orang bodoh menjadi pahlawan,
dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur,
sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara
kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan,
tidak sesumbar kecuali di runtuhan,
dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya
sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
falsafahnya karung nasi,
dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya
dengan trompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian,
hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan trompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu
menghitung tahun-tahun berlalu
dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang berpecah-belah,
dan masing-masing mengangap dirinya sebagai satu bangsa.

KETERASINGAN SUNNAH DAN AHLU SUNNAH DI TENGAH MARAKNYA BID'AH DAN AHLI BID'AH

KETERASINGAN SUNNAH DAN AHLU SUNNAH DI TENGAH MARAKNYA BID'AH DAN AHLI BID'AH

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al Atsari



Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Semua bid'ah sesat walaupun seluruh manusia menganggapnya baik."[1]

Ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma ini menjadi peringatan bagi siapa saja, bahwa kwantitas atau jumlah bukan ukuran kebenaran. Salah satu kaidah yang telah disepakati oleh ulama menyatakan: "Popularitas sebuah perbuatan dan penyebarannya, sama sekali tidak menunjukkan kebolehannya, sebagaimana halnya keterasingan sebuah perbuatan, bukan dalil bahwa perbuatan itu dilarang".

Ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Adabusy Syar'iyyah (I/263): "Perlu diketahui, banyak perbuatan yang dilakukan oleh mayoritas manusia justru bertentangan dengan syariat. Lalu perbuatan itu menjadi populer di tengah-tengah mereka. Lalu banyak pula manusia yang mengikuti perbuatan mereka tersebut. Satu hal yang sudah jelas bagi seorang yang berilmu ialah menolak hal tersebut, baik diungkapkan lewat perkataan maupun perbuatan. Janganlah ia mundur karena merasa asing dan karena sedikitnya pendukung".

Imam an Nawawi rahimahullah berkata: "Janganlah seorang insan terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang melakukannya, yaitu orang-orang yang tidak mengindahkan adab-adab Islam. Ikutilah perkataan al Fadhl bin Iyadh, ia berkata: ˜Janganlah merasa asing dengan jalan hidayah karena sedikitnya orang yang melaluinya. Dan jangan pula terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang sesat binasa."[2]

Abul Wafaa' Ibnu 'Uqail berkata di dalam kitab al Funun: "Siapa saja yang membangun aqidahnya di atas dalil, maka tidak perlu ia berkamuflase untuk menenggang orang lain. Allah berfirman:

أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ

"Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)" [Ali Imran : 144]

Dalam hal ini Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu a'nhu termasuk orang yang tetap teguh menghadapi simpang siur pendapat manusia. Tekanan-tekanan dari kanan dan kiri yang kerap kali membuat manusia tergelincir tidaklah membuat beliau Radhiyallahu 'anhu labil atau maju mundur..."

Demikianlah seharusnya seorang mukmin yang memegang teguh Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di tengah maraknya bid'ah dan ahli bid'ah. Dia harus memiliki pendirian yang kuat dan tidak terpengaruh dengan tekanan-tekanan di kanan kirinya, yang terkadang membuatnya goyah dan mundur ke belakang. Banyak saudara kita dari kalangan ahlu sunnah menjadi lemah pendiriannya karena merasa terasing di tengah masyarakatnya yang rata-rata sebagai pelaku bid'ah. Dia sering dianggap asing dan aneh. Lalu penyakit futurpun mulai menyerang hatinya, sehingga mulailah sikapnya melemah, sedikit demi sedikit dan lambat laun ia mengikuti bid'ah-bid'ah tersebut. Ambillah pelajaran dari keteguhan sikap Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dalam menjalankan pesan-pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Perlu ia camkan baik-baik, bahwa ia sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, bukan orang lain. Jadi, janganlah ia terpengaruh dengan ucapan-ucapan jahil di kanan kirinya. Terutama bagi orang awam yang sering menjadikan jumlah sebagai ukuran. Seperti perkataan mereka, bagaimana dihukumi sesat atau bid'ah, sementara kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang terus melakukannya? Atau perkataan mereka, mungkinkah perbuatan itu disebut bid'ah, padahal banyak orang yang membolehkan dan bahkan mengerjakannya?

Banyak sekali ayat yang menjelaskan, jumlah yang banyak sering kali memperdaya manusia. Diantaranya adalah firman Allah:

َإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah". [Al An'am : 116].

قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan". [Al Maidah : 100].

Allah Azza wa Jalla telah menegaskan, bahwa manusia yang menentang itu memang lebih banyak jumlahnya:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya". [Yusuf:103].

Sebaliknya, merupakan sunnatullah bahwa para pengikut kebenaran dan yang tetap teguh di atas perintah Allah itu jumlahnya sedikit. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ

"Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit saja".[Huud : 40].

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّاهُمْ

"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini". [Shad : 24].

Allah juga telah menyebutkan salah satu karakteristik pengikut setia ajaran para nabi itu lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan orang-orang yang menentang.

إِنَّ هَؤُلآءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ

"(Fir'aun berkata): "Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil (sedikit jumlahnya)". [Asy Syu'araa : 54].

Dan Allah berfirman:

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

"Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih" [Saba' : 13].

Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan ini.

Al Allamah Ibnu Qayyim al Jauziyah berkata di dalam kitab Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidis Syaithaan, hlm. 132-135: "Orang yang mempunyai bashirah dan kejujuran, tidaklah merasa asing karena sedikitnya pendukung dan karena kehilangan dukungan. Apabila hatinya merasa telah menyertai generasi awal yang telah Allah beri nikmat atas mereka dari kalangan nabi, para shiddiqin, para syuhada' dan orang-orang shalih, sungguh mereka adalah sebaik-baik penyerta. Keterasingan seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah merupakan bukti ketulusan niatnya".

Ishaq bin Rahuyah pernah ditanya tentang sebuah masalah, lalu iapun menjawabnya. Kemudian dikatakan kepadanya: "Sesungguhnya saudaramu, Imam Ahmad bin Hambal juga berpendapat seperti itu". Maka beliau berkata: "Aku kira tidak ada orang lain yang sependapat denganku dalam masalah ini".

Setelah nyata kebenaran itu bagimu, maka janganlah merasa asing karena tidak ada orang yang menyertaimu. Karena apabila kebenaran itu bersinar, maka cahayanya akan tampak dan tidak butuh lagi penguat untuk menguatkannya. Hati dapat menilai kebenaran sebagaimana mata dapat melihat matahari. Apabila seseorang telah melihat matahari, maka tidak perlu lagi bukti lain untuk menguatkan pengelihatannya itu.

Sungguh baik apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Abu Syaamah dalam bukunya al Hawaadits wal Bida': "Perintah untuk melazimi jama'ah, maksudnya ialah melazimi kebenaran dan mengikutinya walaupun yang mengikutinya sedikit dan yang menyelisihinya banyak jumlahnya. Karena kebenaran itu ialah yang dipegang oleh jama'ah pertama dari zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat beliau. Jadi, janganlah engkau melihat banyaknya pelaku bid'ah sesudah mereka".

Amru bin Maimun al Audi berkata: "Aku menyertai Mu'adz di Yaman, dan aku tidak meninggalkannya hingga aku memakamkan jenazahnya di Syam. Kemudian sesudah itu aku menyertai orang yang paling faqih, Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu. Aku mendengar beliau mengatakan, hendaklah kalian memegang teguh jama'ah. Karena tangan Allah di atas jama'ah. Kemudian suatu hari aku mendengar beliau berkata, nanti kalian akan diperintah oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Shalatlah kalian tepat pada waktunya, itulah shalat fardhu bagi kalian, lalu shalatlah bersama mereka, dan itu menjadi shalat sunnat bagi kalian," maka aku berkata: "Wahai sahabat Rasulullah, aku belum paham apa yang engkau sampaikan itu".

"Apa itu?" selidik beliau.

Aku berkata, Engkau suruh aku mengikuti jama'ah dan menganjurkanku kepadanya. Kemudian engkau katakana, Shalatlah sendiri di awal waktu, dan itu menjadi shalat wajib bagi kalian. Lalu shalatlah bersama jama'ah, dan itu menjadi shalat sunnat."

Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Wahai Amru bin Maimun! Tadinya aku kira engkau adalah orang yang paling paham di kampung ini. Tahukah engkau, apa itu jama'ah?"

Aku menjawab: "Tidak!"

Beliau berkata: "Sesungguhnya mayoritas manusia itulah yang menyelisihi jama'ah. Sesungguhnya jama'ah itu adalah yang sesuai dengan kebenaran, walaupun engkau seorang diri" [3].

Nu'aim bin Hammad berkata: "Yakni apabila jama'ah manusia sudah rusak, maka hendaklah engkau mengikuti jama'ah awal sebelum rusak, walaupun engkau seorang diri. Karena engkaulah jama'ah di kala itu".

Cobalah simak perkataan Imam al Auzaa'i berikut ini: "Hendaklah engkau mengikuti jejak Salaf, walaupun manusia menolakmu. Dan tinggalkanlah pendapat manusia, walaupun mereka menghiasinya dengan kata-kata manis".

Demikianlah kondisinya, seperti yang digambarkan oleh al Hasan al Bashri: "Sesungguhnya Ahlu Sunnah adalah yang minoritas jumlahnya pada masa lalu dan pada masa yang akan datang".

Seperti itulah kondisi yang dialami oleh al Imam asy Syatibi dalam menghadapi orang-orang pada zamannya. Beliau menuturkan : "Aku dihadapkan kepada dua pilihan. Aku tetap mengikuti sunnah tetapi menyelisihi adat kebiasan manusia. Maka aku pasti mengalami apa yang dialami oleh siapa saja yang menyelisihi adat kebiasaan. Apalagi mereka menganggap adat yang mereka lakukan itu adalah sunnah. Jelas, hal itu merupakan beban yang berat, namun di dalamnya tersedia pahala yang besar. Atau aku mengikuti adat kebiasaan mereka tetapi menyelisihi sunnah dan Salafush Shalih. Maka akupun dimasukkan ke dalam golongan orang-orang sesat, wal iyadzu billah. Hanya saja, aku dipandang telah mengikuti adat, dipandang sejalan dan bukan orang yang menyelisihi. Maka aku lihat, bahwa hancur karena mengikuti sunnah adalah jalan keselamatan. Sesungguhnya manusia itu tidak ada gunanya bagiku nanti di hadapan Allah".

Itulah makna dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

"Sesungguhnya Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing".

Coba simak wasiat Sufyan ats Tsauri rahimahullah berikut ini: "Tempuhlah jalan kebenaran dan janganlah merasa asing karena sedikitnya orang-orang yang melaluinya sehingga membuatmu ragu-ragu".

Bukankah ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan tentang perpecahan umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan yang selamat darinya cuma satu golongan saja? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

"Umat Yahudi terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Umat Nasrani terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan".[4]

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan satu golongan yang selamat itu:

كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

"Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al Jama'ah" [5]

Adapun tentang tafsir al jama'ah telah kita sebutkan di atas.

Kesimpulannya, janganlah kita terpukau dengan banyaknya bid'ah dan para pelakunya. Jangan pula kita merasa asing dalam mengamalkan Sunnah karena sedikitnya jumlah orang-orang yang mengikutinya. Karena yang menjadi ukuran adalah hujjah dan dalil al Qur`an dan as Sunnah menurut pemahaman Salaf, bukan kwantitas atau jumlah.

Maraji :
1. Ilmu Ushul Bida', Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
2. Al I'tishaam, Al Imam asy Syathibi.
3. Al Adabusy Syar'iyyah, Ibnu Muflih.
4. Syarah Ushul I'tiqad Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Al Laalikaai.
5. Tafsir Ibnu Katsir.
6. Al Bida' al Hauliyah.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Diriwayatkan oleh al Laalikaai (nomor 126), Ibnu Baththah (205), al Baihaqi dalam kitab al Madkhal Ilas Sunan (191), Ibnu Nashr dalam kitab as Sunnah (nomor 70).
[2]. Ucapan ini dinukil oleh adz Dzahabi dalam kitab Tasyabbuhil Khasis, halaman 33.
[3]. Al-Laalikaai dalam as Sunnah (nomor 160)
[4]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (II/332), Abu Dawud dalam Sunan-nya (V/4) dalam kitab as Sunnah hadits nomor 4596. Lafazh di atas adalah riwayat Abu Dawud, at Tirmidzi dalam Jami'-nya (IV/134-135) dalam Abwaabul Imaan, hadits nomor 2778, beliau berkata: “Hadits hasan shahih”. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1321) dalam kitab al Fitan hadits nomor 3991 secara ringkas.
[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1322) dalam kitab al Fitan, hadits nomor 3993, dalam az Zawaa-id dikatakan: "Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah".

MENGAWASI DIRI SENDIRI

MENGAWASI DIRI SENDIRI


Oleh
Dr. 'Abdul-Qayyum as-Suhaibani [1]



Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih nan Penyayang. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.

Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

« لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا ».

"Niscaya aku akan melihat beberapa kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan kebaikan laksana gunung-gunung Tihamah [2] yang putih, kemudian Allah Azza wa Jalla menjadikannya debu yang beterbangan".
Ada [3] yang bertanya: "Wahai Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka kepada kami, agar kami tidak menjadi bagian dari mereka sementara kami tidak tahu," Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Ketahuilah, mereka adalah saudara kalian, satu bangsa, dan bangun malam sebagaimana kalian. Tapi jika mereka menyendiri dengan larangan-larangan Allah, mereka melanggarnya" [4].

Seseorang mungkin menjauh dari dosa dan maksiat saat berada di hadapan dan dilihat orang lain. Tetapi jika ia menyendiri dan terlepas dari pandangan manusia, ia pun melepaskan tali kekang nafsunya, merangkul dosa dan memeluk kemungkaran.

"Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya". [al-Isrâ`/17 : 17].

"Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan". [al-Baqarah /2 : 74].

Bahkan jika ingin berbuat dosa dan ada seorang anak kecil di hadapannya, ia akan meninggalkan dosa itu. Dengan demikian, rasa malunya kepada anak kecil lebih besar daripada rasa malunya kepada Allah. Andai saat itu ia mengingat firman Allah:

"Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka tampakkan?" [al-Baqarah/2 : 77].

"Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib?" [at-Taubah/9 : 78]

Sungguh celaka wahai saudaraku! Jika keberanian anda berbuat maksiat adalah karena anda meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melihat, maka alangkah besar kekufuran anda. Dan jika anda mengetahui bahwa Allah mengetahuinya, maka alangkah parah keburukan anda, dan alangkah sedikit rasa malu anda!

"Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah mengetahui mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan". [an-Nisâ`/4 : 108].

Di antara hal yang sangat "ajaib" adalah anda mengenal Allah, tetapi bermaksiat kepada-Nya. Anda mengetahui kadar kemurkaan-Nya, tetapi justru menjatuhkan diri kepada kemurkaan itu. Anda mengetahui betapa kejam hukuman-Nya, tetapi anda tidak berusaha menyelamatkan diri. Anda merasakan sakitnya keresahan akibat maksiat, tetapi tidak pergi menghindarinya dan mencari ketenangan dengan mentaati-Nya.

Qatadah berpesan: "Wahai anak Adam, demi Allah, ada saksi-saksi yang tidak diragukan di tubuhmu, maka waspadailah mereka. Takutlah kepada Allah dalam keadaan tersembunyi maupun nampak, karena sesungguhnya tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Bagi-Nya, kegelapan adalah cahaya, dan yang tersembunyi sama saja dengan yang nampak. Sehingga, barang siapa yang bisa meninggal dalam keadaan husnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah, hendaklah ia melakukannya, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan izin Allah"[5].

"Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian, tetapi kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Rabb kalian, prasangka itu telah membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi". [Fushshilat/41 : 22-23].

Ibnul-A'rabi berkata: "Orang yang paling merugi, ialah yang menunjukkan amal-amal shalihnya kepada manusia dan menunjukkan keburukannya kepada Allah yang lebih dekat kepadanya dari urat lehernya" [6].

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya". [Qâf /50:16].

إِذَا مَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْمًا، فَلاَ تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَيَّ رَقِيْبُ
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الله يَغْفُـلُ سَـاعَـةً وَلاَ أَنَّ ماَ تُخْفِيْهِ عَنْهُ يَغِيْـبُ

Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri,
teapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini.
Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai,
atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.

Sungguh takwa kepada Allah dalam keadaan tidak nampak (fil-ghaib) dan takut kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi merupakan tanda kesempurnaan iman. Hal ini menjadi sebab diraihnya ampunan, kunci masuk surga. Dan dengannya, seorang hamba meraih pahala yang agung nan mulia.

"Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia". [Yâsîn/36 : 11].

"Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan tersembunyi akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar". [al-Mulk/67 : 12].

"Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah dalam keadaan tersembunyi dan dia datang dengan hati yang bertobat. Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan Kami memiliki tambahannya".[Qâf/50 : 31-35].

Dan di antara doa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:

أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ

"Aku memohon rasa takut kepada-Mu dalam keadaan tersembunyi maupun nampak".[7]

Maknanya, hendaklah seorang hamba takut kepada Allah dalam keadaan tersembunyi maupun nampak, serta lahir dan batin, karena kebanyakan orang takut kepada Allah dalam keadaan terlihat saja. Namun yang penting adalah takut kepada Allah saat tersembunyi dari pandangan manusia, dan Allah telah memuji orang yang takut kepada-Nya dalam kondisi demikian.

Bakr al-Muzani berdoa untuk saudara-saudaranya: "Semoga Allah menjadikan kami dan kalian zuhud terhadap hal yang haram, sebagaiman zuhudnya orang yang bisa melakukan dosa dalam kesendirian, namun ia mengetahui bahwa Allah melihatnya, maka ia tinggalkan dosa itu" [8].

Sebagian lagi mengatakan: "Orang yang takut bukanlah orang yang menangis dan 'memeras' kedua matanya, tetapi ia adalah orang yang meninggalkan hal haram yang ia sukai saat ia mampu melakukannya"[9].

إِذَا السِّرُّ وَالإِعْلاَنُ فِي المُؤْمِنِ اسْتَوَى فَقَدْ عَزَّ فِي الدَّارَيْنِ وَاسْتَوْجَبَ الثَّنَا
فَإِنْ خَالَـفَ الإِعْـلاَنُ سِرًّا فَمَا لَهُ عَلَى سَعْيِهِ فَضْلٌ سِوَى الْكَدِّ وَالْعَنَا

Jika tersembunyi dan tampak bagi seorang mukmin tiada beda,
maka ia telah berhasil di dua dunia dan kita pantas memujinya.
Namun jika yang tampak menyelisihi yang rahasia,
tiada kelebihan pada amalnya, selain penat dan lelah saja.

Hal-hal yang menjadikan takut (khasy-yah) kepada Allah Azza wa Jalla :
1. Iman yang kuat terhadap janji Allah l dan ancaman-Nya atas dosa dan maksiat.

2. Merenungkan kejamnya balasan Allah Subhanahu wa Taala dan hukuman-Nya. Hal ini menjadikan seorang hamba tidak melanggar aturan-Nya, sebagaimana dikatakan al-Hasan al-Bashri: "Wahai anak Adam, kuatkah engkau memerangi Allah? Orang yang bermaksiat berarti telah memerangi-Nya". Sebagian lagi mengatakan: "Saya heran dengan si lemah yang menentang Sang Kuat".

3. Kewaspadaan yang kuat terhadap pengawasan Allah dan mengetahui bahwa Allah mengawasi hati dan amalan para hamba, serta mengetahui mereka di manapun berada. Orang yang sadar bahwa Allah melihat-Nya di manapun berada, mengetahui dirinya secara lahir dan batin, mengetahui yang tersembunyi maupun yang nampak, dan ia mengingat hal itu saat menyendiri, maka ia akan meninggalkan maksiat dalam ketersembunyiannya. Wahb bin al-Ward berkata: "Takutlah kepada Allah sebesar kekuasaan-Nya atas dirimu! Malulah kepada-Nya seukuran kedekatan-Nya kepadamu, dan takutlah kepada-Nya karena Dialah yang paling mudah bisa melihatmu" [10].

4. Mengingat makna sifat-sifat Allah, antara lain: mendengar, melihat dan mengetahui. Bagaimana anda bermaksiat kepada yang mendengar, melihat dan mengetahui keadaan anda? Jika seorang hamba mengingat hal ini, rasa malunya akan menguat. Ia akan malu jika Allah mendengar atau melihat pada dirinya sesuatu yang Dia benci, atau mendapati sesuatu yang Dia murkai tersembunyi pada hatinya. Dengan demikian, perkataan, gerakan, dan pikirannya akan selalu ditimbang dengan timbangan syariat, dan tidak dibiarkan dikuasai hawa nafsu dan naluri biologis.

Ibnu Rajab berkata: "Takwa kepada Allah dalam ketersembunyaian adalah tanda kesempurnaan iman. Hal ini berpengaruh besar pada pujian untuk pelakunya yang Allah 'sematkan' pada hati kaum mukminin"[11].

Sedang Abu ad-Darda' menasihati: "Hendaklah setiap orang takut dilaknat oleh hati kaum mukminin, sementara dia tidak merasa. Ia menyendiri dengan maksiat, maka Allah menimpakan kebencian kepadanya di hati orang-orang yang beriman"[12].

Sulaiman at-Taimi berkata: "Sungguh seseorang melakukan dosa dalam ketersembunyiannya, maka iapun terjatuh ke dalam lubang kehinaan"[13].

Ada juga yang mengatakan: "Sungguh, seorang hamba berbuat dosa yang hanya diketahui dirinya dan Allah saja. Lalu ia mendatangi saudara-saudaranya, dan mereka melihat bekas dosa itu pada dirinya. Ini termasuk tanda yang paling jelas akan keberadaan Rabb yang haq, yang membalas amalan –yang kecil sekalipun- di dunia sebelum akhirat. Tidak ada amalan yang hilang di sisi-Nya, dan tiada berguna tirai dan penutup dari kuasa-Nya. Orang berbahagia adalah orang yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena jika demikian, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan orang lain. Dan barang siapa yang mengejar pujian manusia dengan mengorbankan murka Allah, maka orang yang awalnya memuji akan berbalik mencelanya"[14].

Di antara hal paling ajaib mengenai hal ini adalah kisah yang diriwayatkan dari Abu Ja'far as-Saih: "Habib Abu Muhammad adalah seorang saudagar yang meminjamkan uang dengan bunga. Suatu hari, ia melewati sekumpulan anak kecil yang sedang bermain. Merekapun berbisik di antara mereka: 'Pemakan riba datang,' Habibpun menundukkan kepalanya dan berkata: 'Ya Rabb, Engkau telah sebarkan rahasiaku pada anak-anak kecil,' lalu ia pulang dan mengumpulkan seluruh hartanya. Ia berkata: 'Ya Rabb, aku laksana tawanan. Sungguh aku telah membeli diriku dari-Mu dengan harta ini, maka bebaskanlah aku'. Esok paginya, ia sedekahkan seluruh harta itu dan mulai menyibukkan diri dengan ibadah. Suatu hari ia melewati kumpulan anak kecil. Ketika melihatnya, mereka berseru di antara mereka: 'Diamlah! Habib si ahli ibadah datang,' Habibpun menangis dan berkata: "Ya Rabb, Engkau sekali mencela, sekali memuji, dan semua itu dari-Mu'."[15]

Sufyan ats-Tsauri berpesan: "Jika engkau takut kepada Allah, Dia akan menjaga dirimu dari manusia. Tetapi jika engkau takut kepada manusia, mereka tidak akan bisa melindungimu dari Allah"[16].

Ibnu 'Aun berpisah dengan seseorang, maka ia berwasiat: "Takutlah kepada Allah, karena orang yang takut kepada-Nya tidak akan merasa sendiri" [17].

Sedangkan Zaid bin Aslam berkata: "Dulu dikatakan: Barang siapa takut kepada Allah, orang akan mencintainya, meskipun mereka (pernah) membencinya"[18].

Marâji` Terjemah:
- Al-Maktabah asy-Syamilah.
- Al-Qamus al-Muhith, Muassasah ar-Risalah, 1424 H.
- Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Mujamma' Mâlik Fahd.
- http://quran.al-islam.com/Targama/
- Jami'ul 'Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, Darul Ma'rifah, 1408 H.
- Mushaf al-Madinah an-Nabawiyyah Digital.
- Syu'abul Iman lil Baihaqi, Darul Kutub al-'Ilmiyyah, 1410 H.
- Tafsir Ibnu Katsir, Muassasah ar-Rayyan, 1418 H.
- Taysirul Karimir Rahmân, Abdurrahmân as-Sa'di, Muassasah ar-Risalah, 1426.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Dosen Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah. Tulisan ini diterjemahkan oleh Abu Bakr Anas dari leaflet berjudul "al-Muraqabah adz-Dzatiyyah". Semua catatan kaki dalam tulisan ini dibuat oleh penerjemah.
[2]. Tihamah, ialah nama lain untuk Makkah. Lihat al-Qamus al-Muhith, hlm. 1083.
[3]. Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa yang bertanya adalah sahabat bernama Tsauban.
[4]. HR Ibnu Majah no. 4245, dishahîhkan Syaikh al-Albâni. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah, no. 505.
[5]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/368.
[6]. Syu'abul-Iman lil-Baihaqi, 5/368 no. 6987
[7]. HR Ahmad, 18351 dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni.
[8]. Lihat Jami'ul-'Ulum wal-Hikam, 1/162.
[9]. Lihat Mukhtashar Minhajil-Qashidin, 4/63.
[10]. Lihat Jami'ul-'Ulum wal-Hikam, 1/162.
[11]. Ibid., 1/163.
[12]. Ibid.
[13]. Lihat Jami'ul-'Ulum wal-Hikam, 1/163.
[14]. Ibid.
[15]. Ibid.
[16]. Diriwayatkan juga dari 'Aisyah dalam wasiat beliau kepada Mu'awiyyah Radhiyallahu 'anhu. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 8/32.
[17]. Lihat al-Fawaid (Ibnul Qayyim), Bab : Takwa, hlm. 52.
[18]. Ibid.

Pengantar Kumpulan Puisi "Sebab Akulah Kata"

Apakah arti puisi bagi manusia hari ini? Masihkah kita membutuhkan
puisi? Bisakah kita hidup tanpa puisi?



Bagi kebanyakan orang, puisi bukan hanya telah menjadi pokok
sekunder atau tersier, ia bahkan telah terhapus dari daftar
kebutuhan. Bagi mereka puisi tak lebih dari sekumpulan kata-kata
kosong aneh, ungkapan perasaan mendayu-ndayu, atau kalimat-kalimat
putus asah penuh tanda seru, yang tak memiliki relevansi apapun
dengan kehidupan mereka, perut lapar mereka atau hasrat-hasrat akan
kelimpahan.



Mengenai pesimisme terhadap puisi, penyair Subagio Sastrowardoyo
pernah menulis dalam sebuah puisi berjudul "Sajak" yang diterbitkan
tahun 1957:



Apakah arti sajak ini

Kalau anak semalam batuk-batuk,

bau vicks dan kayuputih

melekat di kelambu

Kalau istri terus mengeluh

tentang kurang tidur, tentang

gajiku yang tekor buat

bayar dokter, bujang dan makan sehari

Kalau terbayang pantalon

sudah sebulan sobek tak terjahit





Tentu saja sebagai seorang kawi yang hidup di dalam dan bagi puisi,
Subagyo tak berhenti pada potret "ketakberdayaan" puisi di hadapan
kehidupan nyata ini (apapun yang dimaksud dengan "nyata" di sana),
dalam puisi yang sama, ia pun mengajukan sebuah jawaban:



Ah, sajak ini,

mengingatkan aku kepada langit dan mega.

Sajak ini mengingatkanku kepada kisah dan keabadian.

Sajak ini melupakanku aku kepada pisau dan tali.

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri



Ada dua fungsi puisi yang diajukan dalam jawaban tersebut. Pertama,
puisi sebagai cermin yang merefleksikan eksistensi manusia yang
terkatung antara keilahiaan dan kemakhlukan, keabadian dan kefanaan,
beserta segenap implikasinya. Kedua, puisi sebagai hiburan, obat,
atau jalan keselamatan, tempat manusia berlari dari keputusasaan
hidup.



Persoalannya, apakah dalam kehidupan 1 GBpS sekarang ini, orang
memiliki waktu untuk bercermin? Lagi pula dunia virtual sibernetik,
tempat mimesis merupakan operasi utamanya, "cermin" dan "bercermin"
tak lagi berarti. Setiap waktu, orang dihadapkan pada cermin, dan
dalam cermin itu mereka hanya menemukan cermin yang lain. Manusia
kini hidup dalam sebuah rumah cermin tak berhingga dan abadi. Dalam
rumah cermin itu pula, keputusasaan adalah humor terlucu.
Keputusasaan adalah gejala khas kaum eksistensialis, yang selalu
berusaha menyelamatkan kekhususan dirinya, keakuannya, sementara
bagi penghuni rumah cermin itu, "aku sebagai pusat dunia"
(egosentrisme) adalah musuh besar mereka, sumber dari segala sumber
kejahatan dan kekacauan dunia. Hidup di rumah cermin itu, membuat
mereka menyadari bahwa "manusia sebagai realitas sui generis,
khusus, telah mati" dan "aku hanyalah sebuah konstruksi", sebuah
cermin lain, sehingga tidak ada alasan apapun untuk
mempertahankannya, terutama semenjak segala sesuatu yang absolut,
yang orisinal, dan yang otentik, termasuk di dalamnya masa lalu dan
masa depan yang terpersepsi telah mereka letakan dibawah tanda
silang.



Jawaban Subagyo, atau jawaban lain yang sejenis, yang memasukan hal-
hal di luar puisi sebagai alasan, hakekat, tujuan, dan fungsi
keberadaan puisi bagi kehidupan manusia baik masa lalu, kini dan
masa depan, bagaimanapun akan selalu gagal.



Untuk memahami makna dan keberadaan puisi bagi manusia, kita harus
melongok dan mengambilnya dari susuk-bilik puisi itu sendiri. Hal
ini dimungkinkan sebab pada kenyataannya puisi masih ditulis, masih
menjadi permainan utama dunia pubertas dan atau percintaan kita,
masih menjadi bagian inheren kehidupan religius kita melalui ayat,
mantra, atau puji-pujian yang dilantunkan saat beribadah, bahkan
memainkan peranan penting dalam dunia bisnis, melalui iklan.
Tampaknya puisi tak pernah benar-benar lenyap, dan hanya
menjadi "gajah di pelupuk mata yang tak kelihatan" dalam peribahasa
kita.



Terlepasnya sang gajah dari pelupuk mata menunjukan bagaimana
manusia tak dapat melihat melihat dirinya sendiri, artinya ketika
puisi menempati posisi sang gajah, kita dapat mengasumsikan bahwa
puisi memiliki hubungan khusus berkaitan dengan eksistensi manusia.



Sangat menarik menyadari bahwa puisi sebagai seni metaforik menandai
kelahiran bahasa. Apa yang menggerakan manusia berbicara atau
berkata-kata adalah hasrat-hasrat dalam dirinya, dan ekspresi
pertamanya adalah bahasa figuratif atau puitik. "Pada mulanya hanya
puisi yang terkatakan; tak ada isyarat pelogisan hingga jauh
kemudian," tulis filsuf Perancis, J.J. Rousseau dalam Essai sur
l'origine des langues. Senada dengan Rousseau, dalam Scienza Nuova,
ahli hukum Italia, Giambatista Vico menyatakan bahwa "penyair adalah
bangsa yang pertama". Dalam merespon dunia `manusia primitif' tak
bersifat kekanak-kanakan atau barbar, namun secara instingtif dan
karakteristik puitik, mereka memiliki apa yang disebut sapienza
poetica (kebijaksanaan puitik) yang menuntun respon-respon mereka
terhadap lingkungan dan menuangkannya dalam bentuk metafisika,
metaphor, simbol dan mite.



Bahasa sendiri merupakan pembeda manusia dengan makhluk lainnya,
penunjuk akan "kemanusiawian" manusia. Postmodernisme yang membawa
pembalikan ke arah bahasa secara besar-besaran dalam kehidupan kita
dewasa ini, bahkan meletakan bahasa sebagai satu-satunya sumber
eksistensi manusia. Bahasa mengkonstitusi "aku" manusia, dan
demikian juga dunia di luar dirinya. Tidak ada sesuatu di luar
bahasa, bahkan dalam diam sekalipun.



"Aku" adalah sebuah pernyataan bahasa. Pengkonstitusian "aku"
manusia dan dunia di luar dirinya melalui proses penandaan, yaitu
melalui relasi dan perbedaan dengan tanda-tanda lain,
semisal "kau", "dia", "mereka", "kita", "kami". Manusia
terkonstitusi melalui bahasa sebagai serentetan wacana, sebab bahasa
tak memiliki referensi absolut. Bahasa tak mengekspresikan "diri
sejati" yang mendahului dan tetap, namun membawa diri manusia dalam
arus kemenjadian.



Proses penandaan sudah semestinya bersifat metaforis atau puitik,
sebab di dalamnya terdapat penukaran tanda dengan tanda lainnya;
transferensi dari genus ke spesies, atau berdasarkan analogi
(Aristoteles). Jadi ketika kita mengatakan bahwa tidak ada yang
diluar bahasa, sesungguhnya pada saat itu juga tidak ada yang di
luar puisi.



Menggarisbawahi Vico, puisi adalah cara manusia merespon kehidupan.
Dengan kemampuannya mentransmutasikan tanda yang mobil dan dapat
saling dipertukarkan, puisi mampu "membekukan" realitas (baca:
bahasa) dan seketika itu pula berubah menjadi puisi. Pembekuan itu
memungkinkan masa lalu muncul kembali dan menciptakan dirinya
sendiri secara terus menerus dalam kekinian melalui momen penciptaan
dan penciptaan ulang, menulis dan membaca—sebuah aksi yang selama
ini dipikirkan secara terpisah, padahal sesungguhnya saling
mengandaikan satu sama lain dan tak terpisahkan. Hanya dengan
demikian makna tertakik, hanya dengan demikianlah manusia ada, di
luar itu hanyalah bahana atau gema dan sunyi. Sebuah ketakbermaknaan
atau ketakbernamaan, dunia Adam sebelum diajar nama-nama (kini kita
bisa menyebutnya "diajarkan puisi") oleh Tuhan.



Kesadaran semacam inilah, meski mungkin masih sederhana dan samar-
samar, yang melandasi remaja-remaja yang tergabung dalam grup teater
Kelompok Doyan Kerja (Kedok) SMA 6 Surabaya, sebuah kelompok teater
sekolahan yang sangat aktif dan disegani di kota ini karena prestasi-
prestasinya, mengadakan Lomba Cipta Puisi Pelajar se-Jawa Timur
(LCPPJT) 2007 dengan tajuk "Sebab Akulah Kata", yang karya-karya
para 6 pemenang dan 56 nominatornya dibukukan dalam kumpulan ini.



Tentu ini hasil sebuah proses yang panjang. Lebih dari 10 tahun yang
lalu kelompok ini pernah memasang sebuah baliho kain pada pohon
beringin di depan gedung sekolah mereka, bertuliskan" "Berapa harga
1 kg puisi?" Kalimat tanya itu sesungguhnya adalah judul acara
pembacaan puisi yang mereka gelar. Alih-alih mempromosikan kegiatan
tersebut, melalui baliho itu mereka mempertanyakan posisi puisi pada
khalayak. Itulah sebabnya pada bagian-bagian sebelumnya dari tulisan
ini, saya merasa perlu mendiskusikan makna puisi bagi kita hari ini.



LCPPJT 2007 ini sendiri mendapat respon yang cukup baik. Hampir 700
puisi dikirimkan ke panitia. Dari seluruh karya yang masuk, dewan
juri, yang terdiri dari Arief Santoso (redaktur sastra Jawa Pos),
penyair W. Haryanto (penyair), dan saya sendiri menominasikan 62
puisi. Selanjutnya dari jumlah itu ditentukan 6 puisi pemenang.



Sebagian besar puisi-puisi yang diikutsertakan dalam lomba ini cukup
membesarkan hati, dalam batas-batas tertentu puisi-puisi itu
menunjukan kematangan, pengetahuan yang dalam, baik perihal puisi
atau pengetahuan lain, seperti mitologi, sejarah, dan sebagainya,
serta kesadaran akan lokalitas dan fenomena sosial. Ada peningkatan
kualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Beberapa puisi bahkan
mengejutkan dewan juri.



"Bujuk Saladi" misalnya, sebuah sajak yang berkisah tentang sebuah
asta (bujuk) dari seorang kyai bernama Saladi, dan melaluinya "sang
aku" (yang dalam perbincangan sastra sering disebutkan "aku lirik",
sebuah pleonasme yang mubazir, sebab lirisisme dengan sendirinya
mengandaikan keakuan) mencari kembali masa lalunya yang hilang di
bawah dorongan-dorongan utopia dan alienasi, mampu menghadirkan
dialog antara "dunia luar" dan "dunia dalam".



bukit ambar seribu malam, masih bergentayang menyerupa layar bayang
bayang

merayapi dusun, perkampungan- perkampungan bertingkah seperti ayunan

berputar menebar sampir kemenyan doa dan daun daun yang terus gagar
berlantun

memajang paras senja sore hari, lalu terdendang ke pandan lembut
ladang ladang rumput

mengabarkan syair cinta yang lama tersimpan dengan sehelai nyanyian

dari ladang tanah yang terkupas membawa kembali perburuan panjang




dimanakah jejak itu?.


masa kanakku,



Kemampuan membangun hubungan-hubungan itu, juga ditunjukan dengan
kefasihan memasukan unsur-unsur lokal (bahasa, nama tempat, nama
pohon, nama ritual di sebuah daerah) dan data-data sejarah dan
sosial yang digarap ke dalam puisi ini tanpa mengganggu keutuhannya.
Tanpa diberikan catatan kaki sekalipun pembaca tak akan terganggu
dalam menikmati puisi ini, meski ia tak tahu benar hal-hal yang
dirujuk, namun sang penyair tampak tetap merasa perlu menyajikan
referensi-referensi itu dalam sebuah catatan khusus.



Satu-dua trope (pemakaian figuratif atau metaforik atas sebuah kata
atau ekspresi) atau metafor memang terasa kabur atau berlebihan,
seperti "impian naluri yang terus terputar noktah cerita" pada bait
ke lima baris ke enam yang dikutipkan di bawah ini (cetak tebal)"



kita sudah mendayung zaman kehancuran

saling berkobar membakari beranda tua itu

tempat leluhur- leluhur dahulu bertapa meluapkan dahaga

memurungkan usia rindu berabad abad tahun penyesalan

sedang kau yang tercipta dari lambung ribuan madungan- madungan2
tanah ini

bertaruh dengan impian naluri yang terus terputar noktah cerita

sambil mendidihkan pohon pohon yang terus tumbang ke tanah asalmu
kembali

mentenung suara azad masa silam yang terbuang jauh keunjur waktu



Apakah yang dimaksud dengan kalimat ini? Dapatkan "impian"
dipasangkan atau dipadupadankan dengan "naluri"? "Impian" biasa
diartikan sebagai sesuatu yang diinginkan atau cita-cita muluk,
dan "naluri" adalah dorongan atau nafsu pembawaan yang menggerakan
untuk berbuat sesuatu. Relasi apakah yang dibayangkan si penyair
dengan memasangkan dua kata benda ini? "Naluri tentang impian"
atau "impian tentang naluri"? Dan apakah arti dari keduanya? Bahkan
jika kita membubuhkan tanda koma di belakang "impian",
sehingga "naluri yang terputar cerita" merupakan kalimat penjelas
dari kata tersebut, kita tetap tak melihat korelasi apapun. Hal lain
dari kekaburan ini adalah pemakaian bentuk pasif "terputar".
Jika "yang terputar noktah cerita" merupakan penjelas dari "naluri"
atau "impian naluri" tidakkah seharusnya bentuk yang diambil adalah
aktif, sehingga menjadi "yang terus memutar noktah cerita", atau
jika "mimpi naluri" dimaknai sebagai tempat maka sang penyair musti
kata ganti penghubung "yang" dengan "tempat"? Frasa "noktah cerita"
dalam kalimat ini juga terasa janggal. "Noktah" sering disinonimkan
dengan "titik" yang menunjuk sesuatu hal untuk memulai sesuatu atau
menandai sesuatu, atau sebuah noda. Ia adalah sesuatu yang geming,
dan tak beralur, tak memiliki runtutan waktu atau rangkaian adegan,
hanya penanda sebuah kedudukan adegan atau waktu, sebuah fase dalam
runtutan waktu atau rangkaian adegan atau sebuah cerita, oleh
karenanya ia tak mungkin diputar, berputar, atau terputar.



Di luar itu, masih akan kita temukan beberapa lagi, namun seperti
dinyatakan sebelumnya, jumlahnya hanya sedikit.



Sesuatu yang paling menarik dari "Bujuk Saladi" adalah teknik
interupsi atau seselan yang dipergunakannya. Setelah bait-bait
panjang, dengan kalimat-kalimat panjang yang hampir tak memberikan
kesempatan untuk menghela nafas, sebuah bait pendek yang terdiri
dari satu baris atau dua baris menyelingi. Ia, puisi itu, seperti
mengajak kita menyelam ke dalam air dan sesekali, dalam irama yang
tertentu, muncul ke permukaan untuk mengambil nafas. Mengaitkannya
dengan isi puisi itu sendiri, ia merepresentasikan bagaimana "aku"
yang tenggelam dalam nostalgia, dalam mimpi, sesekali terjaga, dan
hanyut kembali.



Puisi yang juga menyengat dewan juri adalah "Nol". Berbeda
dengan "Bujuk Saladi" yang memanfaatkan sejarah dan kebudayaan lokal
sebagai titik tolak kreatif, "Nol" menggali dari warisan kimia dan
fisika. Dalam puisi ini kita akan mendapati istilah-
istilah: "avogadro", "koefisien", "elektron", "atom
Rutherford", "hidro karbon", "alkuna", dan sebagainya. Hebatnya,
semua itu tak hanya menjadi tempelan. Mereka tersusun dalam jalinan
apa yang disebut oleh Octavio Paz sebagai "frase puitik" (unit ritme
minimal dari puisi, kristalisasi segi fisik dan semantik bahasa)
yang kental.



Bilangan avogadro mati

Koefisien dari segala reaksi nol, tidak tersisa

Dua linear ganjil tiba-tiba

Dan angka-angka pun tercengang kosong



Genre "puisi ilmiah" (puisi fisika, puisi matematika, puisi kimia)
dalam setra puisi Indonesia hampir atau bahkan sama sekali tak
tersentuh. Mungkin karena tingkat kesulitannya yang tinggi, karena
sang penyair dituntut, bukan hanya paham akan teori atau prinsip-
prinsip sains, tetapi juga mampu menjadikan teori-teori itu sebagai
milik pribadi hingga ia dapat menari di atasnya, bermain-main
bersamanya dan menciptakan sebuah dunia baru yang tak dapat disentuh
oleh sains itu sendiri, atau apapun.



"Nol" mampu menghadirkan itu semua. Jargon, teori, atau prinsip-
prinsip itu tak dibiarkan begitu saja menjadi diri mereka sendiri,
ia dimanfaatkan, dirubah, untuk sesuatu yang lain, yaitu chaos,
kekacauan dunia.



Konfigurasi atas semua elektron tidak terarah

Atom Rutherford terpecah gaduh

Dalam kegaduhannya, negasi menjadi gempar

Bila gugus-gugus tersebut tidak lagi dalam satu ruang



Pemakaian "atom Rutherford" pada baris kedua bait di atas,
sesungguhnya menimbulkan tanda tanya. Model Rutherford dalam ilmu
fisika dipandang kurang tepat (walaupun begitu, namanya tetap
dihormati, sebab ia membukakan mata kita bahwa atom bukanlah
partikel yang paling tunggal dan tersusun dari partikel-partikel
subatom dan membuka lapangan studi tentang struktur atom), mengapa
sang penyair tak menyebutkan "(model) atom Bohr" yang lebih akurat?
Keanehan ini juga dapat kita temukan pada logo Komisi Tenaga Atom
Amerika Serikat atau bendera Agen Internasional Tenaga Atom yang
memajang model Rutherford. Agaknya model Rutherford lebih memenuhi
imajinasi penyair mengenai struktur atom dibanding Bohr atau mungkin
ada alasan-alasan lainnya.

Jika tidak, maka sang penyair harus lebih hati-hati dalam memberikan
detail. Bukan saja karena pembaca bukanlah orang bodoh, tetapi
karena ia sedang menyusun dunia. Karena ia sedang mengucap "Kun!"



Sesuatu yang patut disayangkan dan mengganggu "kesempurnaan" puisi
ini adalah problem penalaran yang ditunjukan pada bait berikut
(cetak tebal):



Satu atom tak elakkan tuk lepaskan hidrokarbonnya

Karena mungkin alkuna akan mengganjil begitu saja

Tidak lagi sebuah ikatan rangkap tiga

Antar atom karbonnya



Kata "karena" pada baris kedua di sana rasanya tidak tepat, sebab
keberadaan kata "akan" menunjukan bahwa keganjilan alkuna adalah
kondisi di masa depan, yang akan terjadi jika syarartnya, yaitu
baris pertama, terjadi. Kata penghubung kausalitas yang seharusnya
dipakai di sini adalah "hingga".



Mutiara yang harus ditakzimi adalah pembalikan dari "jagad gede"
ke "jagad cilik" di bait terakhir puisi ini, yang dilakukan tanpa
kehilangan seluruh atmosfer keilmiahan yang dibangun semenjak bait
pertama sampai bait sebelumnya.



Teremosi atas segala transisi

Namun tidak mungkin tereaksi kembali

Jiwa ini berteriak dalam keangkuhan waktu

Yang telah satukan nol, dengan jiwa ini



Selain dua puisi ini, masih banyak lagi puisi-puisi dari lomba ini,
seperti "Thartus", "Laila Gung Cek", "Bila Billy", "Sebuah Perahu
Rapuh", "Astrolabium Elegi", "Bola-Bola Coklat", "Negeri yang
Terkoyak", dan lain-lainnya, yang menarik dan membuat dewan juri,
atau kita semua, melihat langit malam perpuisian Indonesia masa
datang terang benderang penuh gemintang warna-warni. (*)

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AZZA WA JALLA AL-KARIM

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AZZA WA JALLA AL-KARIM


Oleh
Ustadz Ali Musri Semjan Putra


MAKNA AL-KARIM DARI TINJAUAN BAHASA
Berikut ini beberapa penjelasan para ulama pakar bahasa Arab mengenai makna al-Karîm:

Ibnu Fâris rahimahullah menyebut bahwa asal kata karom (bentuk noun kata al-Karîm) menunjukkan dua makna, salah satunya adalah kemuliaan[1].

Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, "al-Karîm artinya pemaaf. Allah Azza wa Jalla adalah al-Karîm yang memaafkan dosa para hamba-Nya yang beriman"[2].

Al-Azhari rahimahullah mengartikannya dengan: " al-Karîm salah satu dari sifat Allah Azza wa Jalla dan nama-Nya. Maknanya, yaitu dzat yang sangat banyak memiliki kebaikan, amat pemurah, pemberi nikmat dan keutamaan". al-Karîm adalah nama yang mencakup segala sifat yang terpuji. Allah Azza wa Jalla adalah al-Karîm (Maha Mulia) amat terpuji segala perpuatan-Nya.[3]

Ibnu Manzhûr rahimahullah menjelaskan: " al-Karîm salah satu dari sifat Allah Azza wa Jalla dan nama-Nya. Yakni dzat yang amat banyak memiliki kebaikan, amat pemurah lagi pemberi. Pemberian-Nya tidak pernah habis. Dia-lah Dzat Yang Maha Mulia secara mutlak. al-Karîm adalah nama mencakup segala kebaikan, kemuliaan dan keutamaan. Nama ini juga menghimpun segala hal yang terpuji. Allah Azza wa Jalla mempunyai nama al-Karîm (Maha Mulia) artinya amat terpuji dalam segala perpuatan-Nya, Rabb yang memiliki 'Arsy yang mulia lagi agung"[4].

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-KARIM
Jika kita mencermati nama al-Karîm dalam al-Qur'ân, nama Allah Azza wa Jalla yang mulia ini terulang sebanyak dua kali. Pertama, dalam surat an-Naml/27:40:

فَلَمَّا رَآَهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

"Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Tempat kedua, dalam surat al-Infithâr/82:6: Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ

"Hai manusia, apa yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu Yang Maha Pemurah".

Pada ayat surat an-Naml di atas, Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang perkataan Nabi Sulaiman Alaihissalam saat beliau menyaksikan wujud istana ratu Balqis di hadapannya. Pemberian Allah Azza wa Jalla tersebut dinilai oleh Nabi Sulaiman guna menguji rasa syukurnya pada Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Lalu, ayat ini ditutup dengan dua nama Allah Azza wa Jalla yang mulia al-Ghani (Maha Kaya) dan al-Karîm (Maha Mulia). Kedua nama ini sangat erat dengan konteks awal ayat tersebut. Siapa saja yang mau bersyukur, sikap tersebut tidak akan menambah kekayaan Allah Azza wa Jalla karena Allah Maha Kaya. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mau bersyukur tidak akan mengurangi kekayaan Allah Azza wa Jalla. Demikian pula, barangsiapa yang bersyukur akan mendapat balasan dari al-Karîm (Yang Maha Pemurah) balasan yang berlipat ganda. Dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Allah Azza wa jalla tetap senantiasa memberi rezeki bagi mereka. Hal ini seperti termaktub dalam firman Allah:

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

"Jika kamu kafir maka sesungguhnya AllahMaha Kaya darimu (tidak memerlukanmu) dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi para hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai kesyukuran itu bagimu" [az-Zumar/39:7]

Barangsiapa bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengingkari (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kaya lagi Maha Mulia. Allah Azza wa Jalla memberi bukan karena membutuhkan makhluk tapi karena Allah Azza wa Jalla mempunyai nama al-Karîm (Maha Pemurah).

Adapun pada ayat surat al-Infithâr, Allah Azza wa Jalla bertanya kepada manusia, apa yang membuat mereka teperdaya untuk selalu berbuat durhaka kepada Allah Azza wa Jalla. Padahal, Allah Azza wa Jalla senantiasa mencurahkan berbagai nikmat dan rahmat bagi mereka. Karena Allah bersifat Maha Pemurah terhadap seluruh manusia. Tidaklah pantas manusia berlaku demikian, karena Allah al-Karîm (pemurah) terhadap mereka.

Al-Karîm adalah yang mulia dalam segala hal, yang amat banyak pemberian dan kebaikannya, baik ketika diminta maupun tidak. Nama al-Karîm menunjukkan kesempurnaan kemuliaan Allah Azza wa Jalla dalam zat dan segala sifat serta perbuatan-Nya:

1. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam dzat-Nya. Tidak ada cacat sedikit pun dalam dzat Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dzat Allah k Maha Indah.

2. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam segala sifat-Nya. Tidak ada sifat jelek pun pada Allah k . Sesungguhnya sifat-sifat Allah amat sempurna dalam segala maknanya.

3. Allah Azza wa Jalla juga Maha Mulia dalam segala perbuatannya. Tidak ada cacat dalam perbuatan Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya segala perbuatan Allah Azza wa Jalla penuh dengan berbagai hikmah yang luas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Nama Allah al-Karîm mencakup makna kedermawanan, juga makna kemuliaan dan keluhuran, serta bermakna kelembutan dan memberi kebaikan" [5].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Secara global, makna al-Karîm adalah dzat yang suka memberi kebaikan yang banyak dengan amat mudah dan gampang. Lawannya, orang pelit yang amat sulit dan jarang mengeluarkan kebaikan "[6].

Diantara makna al-Karîm, Allah Azza wa Jalla berbuat baik kepada seluruh makhluk tanpa sebuah kewajiban yang mesti mereka kerjakan. Semua kebaikan yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada makhluk adalah semata-mata atas kemurahan-Nya kepada para makhluk.

Kemudian, sebagai (cermin) sifat karom-Nya, Allah Azza wa Jalla memaafkan sesuatu hak yang wajib diserahkan kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla memaafkan dosa para hamba yang lalai dalam menunaikan kewajiban kepada Allah. Karena nama Allah al-Karîm beriringan dengan nama Allah al-'Afuww (Maha Pemberi Maaf), seperti tertuang dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha , ia berkata: "Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika seandainya aku mengetahui malam Lailatul Qadar, apa yang aku ucapkan?" Beliau bersabda: "Ucapkanlah: Ya Allah sesungguhnya engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia, Engkau mencintai sifat pemaaf, maka ampunilah aku". [HR. at-Tirmidzi 5/534, dan dishahîhkan al-Albâni]

Disamping itu, jika seseorang bertaubat dari kesalahannya, Allah Azza wa Jalla menghapus dosanya dan menggantikan kesalahan tersebut dengan kebaikan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [al-Furqân/25:70]

Begitu juga, sebagai cermin karom-Nya, Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi, tanpa pernah terhenti pemberian-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin" [Luqmân/31:20]

Demikian pula sebagai bentuk karom-Nya, Allah Azza wa Jalla memberi nikmat dari semenjak pertama meskipun tanpa diminta. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Dan berapa banyak binatang yang tidak membawa rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [al-'Ankabût/29:60]

Sebagai cermin sifat karom-Nya yang lain, Allah Azza wa Jalla memberi berbagai kebaikan tanpa mengharap pamrih, karena Allah Azza wa Jalla bersifat Maha Pemurah secara mutlak. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

"Aku tidak menghendaki rezki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh". [Adz-Dzâriyât/51:57-58]

Termasuk pula dalam makna al-Karîm, Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya dan berjanji akan memperkenankan permintaan mereka. Bahkan memberitakan mengenai pemberian lain diluar permintaan mereka tersebut. Sebaliknya, akan marah kepada orang yang tidak berdoa kepada-Nya. Karena Allah itu Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Rabbmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." [Ghâfir/40:60]

Jadi intinya, pengertian nama al-Karîm adalah yang memiliki segala macam kebaikan dan kemuliaan serta keutamaan[7].

ALLAH AZZA WA JALLA MENAMAKAN AL-QUR'AN DENGAN NAMA AL-KARIM
Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa kitab suci al-Qur'ân kalamullah adalah kitab yang Karîm (mulia). Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ

"Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia" [al-Wâqi'ah/56:77]

Dijelaskan oleh para ulama, alasannya karena al-Qur'ân adalah kalâmullah (perkataan Allah Azza wa Jalla), mengandung kebaikan yang begitu banyak. Di dalamnya terdapat petunjuk yang lurus, keterangan yang jelas, ilmu yang berguna dan hikmah yang banyak [8]. Segala kebaikan terjamin dengan menjalankan isi Al Quran tersebut.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, "Allah Azza wa Jalla menyebutkan sifat al-Qur'ân dengan sesuatu yang menunjukkan keindahan, limpahan kebaikan juga manfaat serta keagungannya. Karena al-Karîm adalah sesuatu yang sarat dengan kebaikan yang amat banyak lagi agung manfaatnya. Dan al-Qur`ân sendiri, ditinjau dari segala segi merupakan yang terbaik dan paling afdhal. Maka, Allah Azza wa Jalla mensifati diri-Nya dengan sifat al-Karam (kemuliaan) serta mensifati kalam dan 'Arasy-Nya dengan sifat karam pula. Dan juga memberikan sifat tersebut sesuatu yang banyak kebaikannya dan indah bentuknya..."

Al-Azhari rahimahullah berkata, "Al Qur'ân disebut al-Karîm karena kandungannya akan berbagai petunjuk, penjelasan, ilmu dan hikmah" [9].

Al Qur'ân yang mulia ini dibawa oleh malikat yang mulia pula yaitu Jibril Alaihissalam, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

"Sesungguhnya Al Qur'ân itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)" [at-Takwîr/81:19].

Kemudian Al Qur'ân yang mulia tersebut disampaikan oleh malaikat yang mulia kepada rasul yang mulia pula, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

"Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.." [al-Hâqqah/69:40]

Berdasar ayat di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sebagai utusan yang karîm (mulia) karena Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki akhlak yang mulia, membawa kitab yang mulia, mengajak manusia kepada segala hal yang mulia, baik dalam hal keyakinan maupun amalan.

Demikian pula, 'Arsy Allah Azza wa Jalla adalah makhluk yang mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

"Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Rabb (Yang memiliki) 'Arsy yang mulia.". [al-Mukminûn/23:116]

Karena 'Arsy merupakan makhluk yang paling besar dan paling tinggi di atas seluruh makhluk. Segala kemuliaan yang terdapat pada makhluk adalah atas pemberian Allah Azza wa Jalla Yang Maha Mulia. Hal tersebut menunjukkan akan kemulian makhluk tersebut di sisi Allah, melebihi makhluk-makhluk lainnya.

Surga yang dipenuhi berbagai macam kenikmatan, segala nikmat yang terdapat di dalamnya melebihi segala apa yang ada di dunia. Yang disediakan bagi orang-orang yang memiliki sifat mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)". [an-Nisâ/4:31]

BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT KITA AMBIL MELALUI NAMA ALLAH AZZA WA JALLA AL-KARIM
Selanjutnya, berikut ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari mengetahui dan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-Karîm. Perkara ini merupakan tujuan yang sesungguhnya bagi seorang muslim ketika memahami nama-nama Allah Azza wa Jalla tersebut. Agar nama al-Karîm benar-benar memberikan pengaruh positif bagi peningkatan iman dan perbaikan ibadah dan akhlak seorang muslim dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-Karîm akan menumbuhkan sifat-sifat yang mulia dalam diri seorang muslim, diantaranya:

1. Menanamkan sifat mulia dalam diri seorang muslim, karena Allah Maha Mulia dan mencintai orang yang bersifat mulia.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Makhluk yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla adalah orang yang mampu menghiasi diri dengan sifat yang merupakan penjabaran dari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia makam Dia Azza wa Jalla mencintai orang yang memiliki sifat mulia dari para hamba-Nya"[10] .

2. Menanamkan sifat pemurah dalam diri seorang muslim. Karena diantara makna al-Karîm adalah Maha Pemurah. Tentu Allah Azza wa Jalla amat mencintai orang yang bersifat pemurah. Dan Allah Azza wa Jalla membenci orang yang bersifat kikir. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

"Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini". [Muhammad/47:38]

3. Menumbuhkan rasa cinta yang dalam pada diri seorang muslim kepada Allah Azza wa Jalla . Karena Allah Azza wa Jalla bersifat Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla memberi nikmat tanpa batas kepadanya meskipun tanpa diminta.

4. Wajibnya memuliakan kitab Allah Azza wa Jalla, al-Qur'ânul Karîm. Karena, al-Qur'ân adalah kalam Allah Azza wa Jalla yang mulia, yang diturunkan melalui perantara malaikat yang mulia kepada Rasul yang mulia.

5. Wajibnya memuliakan malaikat-malaikat Allah Azza wa Jalla, diantaranya malaikat Jibril. Barang siapa yang membencinya, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ

"Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir". [al-Baqarah/2:98]

6. Wajibnya mencintai para rasul Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa yang membenci salah seorang diantara mereka, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla, sesuai dengan kandungan ayat di atas.

7. Menumbuhkan sifat suka memuliakan tetangga dan tamu, sesuai anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

8. Menumbuhkan sifat suka pemaaf, karena Allah Azza wa Jalla menyukai sifat pemaaf.

9. Mendorong kita untuk selalu berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Karena Allah Azza wa Jalla Maha Pemurah terhadap hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla malu mengembalikan tangan hamba yang diangkat saat berdoa dalam keadaan kosong. Karena nama Allah al-Karîm bergandengan dengan nama Allah Azza wa Jalla al-Hayiyyu sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah Maha Malu lagi Maha Mulia, Allah malu apabila seseorang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya mengembalikannya dalam keadaan kosong lagi merugi". [HR. Abu Dâwud dan at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albâni]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita orang yang bersifat mulia lagi pemurah. Dan menjadikan kita orang yang mencintai segala hal yang mulia, baik berbentuk keyakinan, ucapan maupun tindakan dan perbuatan. Wallahu A'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]

Nasionalisme Para Penyair

Oleh David Krisna Alka

Dalam melihat perkembangan kesusastraan Indonesia, asas nasionalitas atau kebangsaaan penting untuk ditekankan. Mulanya nasionalisme itu dipahami sebagai manifestasi patriotisme radikal melawan kolonialisme dan imperialisme, hanya sekedar mengusir penjajah dari Tanah Air, perasaan senasib dan sepenanggungan di bawah penindasan kolonialisme dan imperialisme. Pada waktu itu, nasionalisme adalah kebangkitan untuk memerdekakan diri dari penjajah. Setelah itu, perjuangan beralih pada wilayah menata model kebangsaan dan mengatur penyelenggaraan negara yang akan dijalani.
Kesadaran yang timbul akhir-akhir ini adalah kesadaran nasionalisme yang semu. Pemahaman terhadap nasionalisme hanya sebatas cara-cara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai kesadaran. Sebagai sebuah konsep, nasionalisme Indonesia rupa-rupanya tidaklah ditegakkan dalam satu garis lurus yang sederhana. Proses kelahiran dan perkembangannya menunjukkan hal yang berkebalikan: berliku-liku dan kompleks. Sebagai sebuah teks yang terbuka atau interpretatif, nasionalisme mengalami pergeseran orientasi akibat kepentingan para pelaku atau kepentingan golongannya.

Pembacaan Nasionalisme
Ben Anderson dalam karyanya yang sudah tak asing bagi sastrawaan kita, ”Imagined Communities, Reflections on The Origin and Spread of Nationalism”, menjelaskan bahwa nasionalisme itu harus menyentuh secara keseluruhan, orang per orang dan golongan dalam masyarakat yang majemuk. Nasionalisme adalah objektif dan netral, dapat diterapkan dalam berbagai konteks, bebas nilai dan bebas kepentingan dalam masyarakat yang plural. Nah, bagaimanakah pembacaan para penyair terhadap konsep nasionalisme itu?
Pada dasarnya, nasionalisme pada kalangan penyair tidak hanya sebatas lewat karya, namun juga turut berkecimpung dalam pergolakan perjuangan kebangsaaan. Merujuk kepada pemahaman nasionalisme yang klasik, yakni perjuangan kebangsaan untuk membebaskan negeri dari penjajah. Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Asrul Sani, Rivai Apin, Amir Hamzah, dan penyair sebelum dan sejak zaman kemerdekaan, telah melakukan perjuangan bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga berperan aktif dalam rangka persiapan kemerdekaan Republik Indonesia.
Setelah konsep nasionalisme mengalami keburaman, bukan berarti para penyair sekarang telah meniscayakan rasa kebangsaan telah memudar sedemikian rupa. Kontekstualisasi pembacaan terhadap konsep nasionalisme perlahan mulai dijajaki oleh penyair kita dengan menyajikan karya puisi yang mengkritik maupun membangkit mengenai fenomena Tanah Air yang penuh dengan kecam dan kecamuk.
Untuk merujuk pada pembacaan nasionalisme seorang sastrawan, Sutan Takdir Alisjahbana (1991) mengungkapkan bahwa, membaca kembali nasionalisme berarti harus pembacaan yang relevan dengan konteks zaman. Nasionalisme yang baru, berarti merebut tempat, duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa yang paling maju di dunia sekarang. Berjuang bersama-sama dengan bangsa lain menciptakan dunia baru yang lebih harmonis. Sebab dunia dan umat manusia lambat alun menjadi satu dalam kemajuan ilmu dan teknolgi, dan terutama sekali dalam kecepatan lalulintas dan komunikasi.
Nah, jika penekanan dalam membaca nasionalisme sesuai dengan yang dimaksud oleh STA tersebut, maka penyair tidak harus menuangkan gagasan kebangsaan mereka dalam bentuk yang sempit, berputar pada dilema pengalaman lahir dan batin pada masa perjuangan kemerdekaan, seperti tiada terjadi seratus tahun sekali, cukup untuk menjadi bahan berpuluh roman, beragam sandiwara, dan beratus sajak.
Dalam usaha menemukan identitas nasional, ungkapan STA tersebut tidak harus selalu dituruti. Bagi penyair yang intensif dalam mengelakkan kesenian daerah mestinya tetap konsisten untuk mengembangkan khazanah daerah mereka masing-masing. Pergulatan penyair dalam karya-karya mereka yang mengangkat dan mengembangkan salah satu daerah bukanlah suatu hal yang mudah. Toh kita tidak melulu mesti menerima berbagai pengaruh dan bentuk seni dari budaya Barat.
Jiwa Sang Penyair
Banyak kemungkinan bagi para penyair untuk menyelami rasa kebangsaan dan juga banyak kesukarannya. Dalam zaman pancaroba ini, para penyair berusaha untuk mencari keseimbangan di dalam jiwanya. Bukan keseimbangan yang buta dan tuli, yang mengunci dirinya dalam keheningan dan kesendirian. Keadaan negeri yang sudah sesibuk, carut-marut, dan sekacau ini, para penyair kini hendaknya bersyukur dapat menyaksikan dan mengalami semua itu. Akan tetapi bukan sebagai penonton, namun sebagai orang yang ikut serta bermain dengan hati yang berdebar-debar dan mata bersinar-sinar.
Bangsa Yunani menyatakan bahwa guna seni itu dengan perkataan ìkhatarsis”, yaitu pembersihan. Seni mengangkat manusia dari kehidupan sekelilingnya ke suasana yang mulia dan suci untuk membersihkan jiwa. Menyucikan dan memuliakan jiwa manusia itu hanya mungkin dilakukan oleh seni apabila ia menjadi penjelmaan kesucian dan kemuliaan jiwa.
Para penyair akan berharga atau tidak, mulia atau hina, semata-mata bergantung kepada sifat, watak penyair sendiri. Seni kata yang dtuangkan penyair tidak melulu asyik bermain dengan dirinya sendiri, tetapi mesti melihat kenyataan bangsa. Menurut Soedjatmoko (1991), kita perlu belajar dan berkaca pada sejarah. Nasionalisme tanpa sejarah itu namanya emosi bodoh. Nasionalisme harus disinari oleh kesadaran, pengertian, pengetahuan dan kesadaran sejarah.
Kesadaran nasionalisme seperti itu menjadikan posisi penyair cukup penting dalam menumbuhkan jiwa kebangsaan yang tidak melulu patriotis. Akan tetapi, sebagai penembus putih tulang dan sumsum ”kata”, dan menjadikan ”alat” penyair untuk kepentingannya yang puitik, penyair berusaha untuk memberikan pencerahan dengan kemurnian jiwanya.
Tulisan ini pun tak bermaksud menimbulkan dikotomi antara penyair yang nasionalis dan penyair yang merasa bukan nasionalis, dan bukan pula upaya untuk membagi peran lahan para penyair. Walaupun sulit terbantahkan bahwa para penyair memiliki kecenderungan tersendiri dalam mengangkat gagasan pada karya puisi mereka. Ada yang mengangkat tema religius, ada berusaha untuk mengakar pada persoalan sosial saja, ada yang meronta-ronta dengan alam, dan ada penyair yang cukup berhenti pada kata.
Sejatinya, tiada batas gagasan yang dituangkan, tiada lahan untuk diperebutkan, dan tiada perbedaan yang harus dipermasalahkan. Yang penting, penyair ikut serta berperan dalam melakukan perubahan: dari imajinasi ke gagasan, dari gagasan ke penuangan, dari penuangan ke gerakan, dan dari gerakan menuju perubahan. Wallahu’alam***

Penulis adalah Penyair, Ketua
Al-Maun Poetry Society dan Anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Jakarta.